Jika Anda memaksa ingin tahu alasan saya bangga menjadi orang Sunda, salah satunya adalah: lidah orang Sunda sangat fleksibel, sehingga (jika mau) lebih mudah untuk mempelajari bahasa-bahasa lain. Ungkapan bahwa orang Sunda tidak bisa mengucapkan F misalnya, bagi saya hanyalah sekedar stigma yang lama-lama bisa menjadi kutukan karena kita terlanjur meyakininya. Saya pribadi sudah membuktikan hal itu dengan nilai Bahasa Sunda, bahasa Inggris, dan bahasa Indonesia yang lumayan bagus. Kalau nggak percaya, silakan tanya teman-teman saya. Saya jamin, Anda pasti nggak kenal :)
Alasan lainnya adalah orang Sunda memiliki bahasa yang kosakatanya kaya, jumlahnya luar biasa banyak dan lebih mengandalkan rasa. Saking banyaknya sehingga kadang-kadang ada kata-kata yang sangat sulit diterjemahkan ke dalam bahasa lain karena memang tidak ada padanannya. Kalau pun ada, tidak bisa diterjemahkan dalam satu kata. Misalnya saja clom giriwil. Kata ini menggambarkan proses memancing yang setiap kali memasang umpan selalu berhasil mendapatkan ikan. Silakan cari padanan katanya dalam bahasa Indonesia atau bahasa lain. Kalau ketemu, berarti Anda beruntung.
Contoh lain misalnya kata cilingcingcat dan ijigimbrang. Cilingcingcat menggambarkan kondisi tidak bisa diam (orang), ke sana ke mari (biasanya karena tegang), dan ada dinamika turun naik dalam geraknya. Sementara ijigimbrang menggambarkan keadaan yang mirip, selalu bergerak, namun ruang geraknya lebih sempit (terbatas) serta tidak ada dinamika turun naik dan mengesankan gerak pada bidang datar.
Selain soal bahasa, orang Sunda terkenal someah hade ka semah (ramah dan suka menghormati tamu). Ini antara lain tercermin dari nada bicara orang Sunda yang halus. Perhatikan pula bagaimana toleransi orang Sunda terhadap etnis lain. Saking tolerannya, orang Sunda sering berusaha keras untuk berbicara dalam bahasa yang dimengerti oleh orang yang diajak bicara, semampu mereka. Dan pilihan yang paling gampang tentu berbicara menggunakan bahasa Indonesia (Jakarta?) yang tentu dipahami oleh banyak orang.
Celakanya, justru inilah yang menjadi bumerang. Berawal dari sekedar menghormati orang lain agar sama-sama memahami obrolan, lama-lama menjadi keenakan. Banyak orang Sunda yang mulai lebih sering menggunakan bahasa Indonesia dibanding bahasa ibunya sendiri. Dan ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar yang notabene penduduknya multietnis. Kota-kota kecil di pinggiran pun mulai terjangkiti gejala seperti ini. Semua itu ditunjang oleh maraknya media yang tidak berpihak kepada pelestarian budaya lokal. Jika yang setiap hari terpapar ke otak kita melulu bahasa Indonesia, maka lama kelamaan bahasa itulah yang tertanam dalam diri kita menjadi kebiasaan. Belum lagi kebijakan pemerintah yang sejak dulu sangat jakarta-sentris.
Pelajaran bahasa Sunda di sekolah-sekolah umum tatar Pasundan rata-rata hanya sekitar 2 jam pelajaran dalam seminggu. Dari situ saja kita sudah bisa membayangkan, keterampilan berbahasa seperti apa yang diperoleh dari pendidikan di sekolah formal: sangat menyedihkan. Maka tidak usah heran jika sekarang penutur bahasa Sunda di tanah Pasundan perlahan tapi pasti mulai menyusut. Lucunya, dalam masa 'transisi menuju kepunahan' itu, sering muncul ungkapan-ungkapan lucu seperti "Sayang, jangan ngoyok di balong, nanti kacugak cohcor", "Jangan ganggu yaa... mama lagi ngecos nih..", "Ih, jangan sesenyuman sendiri atuh", dll.
Apakah ini berarti orang Sunda harus pasrah menerima nasib? Jawaban saya, tidak. Kalaupun pemerintah tidak mendukung, tetap harus ada upaya dari kita, orang Sunda sendiri, semampu kita. Caranya? Minimal, biasakan untuk berbicara dalam bahasa Sunda dengan anak-anak kita di rumah. Apalagi bila Anda dan pasangan Anda adalah orang Sunda. Bekal dari rumah ini sangat penting untuk membentengi generasi Sunda berikutnya dari terkikisnya nilai-nilai kasundaan. Jangan bangga jika anak-anak kita palahak-polohok tidak memahami bahasanya sendiri. Sebaliknya - jika itu terjadi - Anda wajib malu sebagai orang Sunda.
Dengan menciptakan atmosfir kasundaan di rumah, minimal dari segi berbahasa, mudah-mudahan kondisi di luar rumah yang tidak mendukung hanya akan berdampak kecil terhadap anak-anak kita. Berbicara bahasa Sunda di rumah, dan berbicara bahasa lain di luar rumah, justru bagus bagi anak-anak usia dini. Kemampuan menyerap pelajaran bahasa pada masa kanak-kanak justru sedang hebat-hebatnya. Mereka malah menguasai dua bahasa secara otomatis, dan gratis.
Ayo ah, kenapa harus malu jadi orang Sunda?