Abad Instan

Banyak orang yang menyebut masa milenium ini seperti itu. Abad instan. Segalanya serba instan, serba cepat, nyaris real time. Akarnya adalah persaingan yang memaksa manusia harus bertindak serba cepat. Siapa yang lelet akan tersingkir. Itu terjadi di semua segi kehidupan.

Berawal dari situlah budaya instan menjadi sebuah hal yang tak terhindarkan, dengan pertimbangan bahwa penghematan jumlah waktu bisa digunakan untuk melakukan hal-hal lain. Contoh sederhana, kalau dulu bikin kopi harus masak air dulu, menakar kopi dan gula sambil menunggu air mendidih, baru bisa menyeduh, sekarang tidak lagi. Ambil kopi yang sudah dikemas untuk satu cangkir, seduh dengan air dari dispenser, kopi siap dinikmati hanya dalam hitungan detik. Maka waktu yang dihemat dari prosesi membuat kopi jaman dulu bisa digunakan untuk hal-hal lain.

Watak manusia yang tidak pernah puas membuat hal-hal yang serba instan terus dicari. Bukan cuma soal makanan dan minuman. Budaya instan saat ini bisa dirasakan dalam berbagai aspek kehidupan. Politisi instan, penyanyi instan, selebritas instan, jutawan instan, dan instan instan lainnya. Sayangnya, seringkali proses untuk mencapai ke arah itu sudah tidak lagi memperdulikan baik atau buruk, sebab tujuannya sendiri sudah bergeser. Jika pada awalnya hanya bertujuan agar bisa lebih banyak waktu yang bisa dihemat, sekarang tujuannya cuma satu: menjadi KAYA secara INSTAN pula.

Berapa banyak politisi nggak jelas yang kerjanya hanya memperkaya diri sendiri. Berapa banyak penyanyi dan selebritas yang bermodal tampang doang. Politisi tak lagi bekerja untuk kemakmuran rakyat, malah sebaliknya menghisap rakyat. Tak banyak lagi artis yang menciptakan karya seni bernilai tinggi, sebab yang lebih penting adalah bagaimana agar karya mereka laku keras.

Semuanya mau serba instan, seba cepat, kalau perlu cari jalan pintas. Soal ada pihak lain yang dirugikan, itu hanya dianggap bagian dari resiko. Salah sendiri, kenapa tidak mau menjadi bagian dari perubahan. Salah sendiri, kenapa jadi manusia sok suci yang tidak mau terseret kekuatan dahsyat bernama budaya instan.

Dan saya nyaris kalah, megap-megap kehabisan energi ketika suatu saat iseng-iseng memikirkan cara INSTAN menghapuskan kemiskinan yang seolah menjadi penyakit menahun dari mayoritas warga negara Indonesia tercinta ini (termasuk saya di dalamnya). Sebuah upaya bodoh yang sia-sia tentu saja, sebab itu SEHARUSNYA adalah pekerjaan para JONGOS dan WAKIL rakyat yang dibekali energi berupa UPAH dari UANG RAKYAT.

Saya sih cuma warga biasa yang sedikit beruntung tidak mati diserang thypus gara-gara kebanyakan makan mie instan...