Lain halnya jika yang ditelisik adalah kesalahan orang lain. Semuanya menjadi begitu gamblang dan jelas, seolah-olah kita melihat segala sesuatunya dengan menggunakan lensa mikroskopis. Bahkan tak pernah ada dorongan untuk mencoba mencari pembelaan terhadap kesalahan orang lain. Kita merasa tidak perlu melihat persoalan dari sudut pandang yang lain.
Namun ketika orang lain berusaha mengungkapkan kesalahan kita, maka yang muncul adalah sikap reaktif dan defensif. kalau kita saja sudah tidak mau menelisik kesalahan diri sendiri, apalagi jika hal itu dilakukan oleh orang lain. Reaksi kita cuma satu: lawan!
Di tingkat individu, hal seperti itu masih bisa dianggap wajar, karena biar bagaimana pun reaksi pertama ketika mendapat 'serangan' adalah berusaha mempertahankan diri. Namun tidak berarti bahwa sikap tersebut selalu benar, karena pada kenyataannya tuduhan, serangan, atau apapun namanya, tentu dipicu oleh sesuatu yang di mata orang lain merupakan kesalahan yang perlu diluruskan. Dan jika kita mau belajar, maka seharusnya hal itu dijadikan alat untuk memperbaiki diri. Bersyukurlah bahwa kesulitan kita untuk melihat kesalahan diri sendiri sudah dibantu oleh orang yang mau menunjukkan kesalahan kita.
Celakanya, ketika kesalahan yang kita lakukan itu menyangkut kepentingan orang banyak, dorongan untuk bersikap defensif justru menjadi lebih besar. Ini terjadi karena pihak yang harus kita yakinkan bahwa kita tidak bersalah bukan lagi satu orang, melainkan banyak orang. Bisa ratusan, bisa ribuan, bisa ratusan ribu, bisa jutaan, bahkan bisa ratusan juta jika itu sudah menyangkut sebuah kebijakan negara.
***
Otonomi daerah yang diberlakukan saat ini diharapkan bisa memperbaiki kondisi yang dulu banyak dikecam gara-gara terkesan sentralistis. Maka muncullah ide otonomi daerah sebagai implementasi dari sistem desentralisasi yang diyakini (pada saat dibuat) akan menciptakan pemerataan di daerah. Namun setelah perjalanan sekian lama, ternyata otonomi daerah malah memunculkan raja-raja kecil yang haus kekuasaan. Dengan bertopengkan membela kepentingan lokal, semakin maraklah keinginan untuk memisahkan diri dalam skala domestik. Bermunculannya propinsi, kabupaten, kecamatan, bahkan desa-desa baru yang memisahkan diri dari induknya menjadi bukti kecenderungan tersebut.
Benarkah setelah memisahkan diri masyarakat setempat menjadi lebih makmur? Sayangnya tidak! Yang justru terjadi adalah pemerataan korupsi, gara-gara semakin besarnya kesempatan untuk melakukan hal itu. Yang tak kalah mengerikannya adalah pembengkakan biaya pemilihan kepala daerah. Untuk pemilihan gubernur saja, pasangan calon bisa menghabiskan biaya trilyunan rupiah! Belum lagi biaya pemilihan bupati/walikota. Itu di luar biaya pemilihan umum yang biayanya tentu lebih besar lagi.
Yang membuat saya sedih, hingga saat ini rasanya belum ada tokoh yang mengritik soal otonomi daerah dan sistem pemilihan (nasional maupun daerah) yang ternyata memakan biaya yang luar biasa besar, dibanding sistem sebelumnya. Entah apakah ini karena mereka memang menikmati lahan korupsi yang semakin subur, atau mungkin karena menganggap semua yang berbau 'masa lalu' adalah semacam najis yang harus dihindari. Padahal kalau kita lihat, tidak semua kebijakan masa lalu itu buruk.
Yang paling gampang, ya soal pemilihan itu tadi. Biaya yang dikeluarkan amat sangat jauh lebih murah dibandingkan sistem yang sekarang. Kecenderungan memunculkan konflik horisontal juga lebih kecil. Lihat misalnya pilkada di Jawa Timur. Entah berapa biaya penyelenggaraan yang harus dikeluarkan pemda, karena selain pilkada dilakukan beberapa purtaran, juga ada pilkada yang harus diulang di beberapa kawasan. Belum lagi biaya yang dikeluarkan para pasangan calon gubernur. Padahal yang membiayai semua itu adalah rakyat yang taraf kehidupannya banyak yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Kalau saja biaya pilkada tidak harus sebesar itu, mungkin sisanya bisa dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. itu pun kalau tidak dikorup!
Rasanya memang kita harus mulai berani melakukan introspeksi. Berani mengakui kesalahan sendiri dan berani berubah. Dua hal yang luar biasa sulit dilakukan, tapi bukan berarti tidak mungkin dilakukan. Kalau misalnya otonomi daerah lebih banyak mudharatnya dibanding manfaatnya, kenapa kita tidak berani mengakui hal itu? Atau kalau misalnya pilkada itu terlalu menguras biaya, kenapa harus dipaksakan? Kuncinya adalah diawali dengan keberanian melakukan introspeksi dengan jujur, baik secara individu maupun berjamaah (kolektif) sebagai bangsa. Pertanyaan besarnya, maukah kita melakukannya?