Keluhan standar lainnya: "Orang mengatakan bahwa kita menjalankan demokrasi di Indonesia, tapi yang sesungguhnya kita jalankan adalah democrazy."
Memang benar bahwa sering sulit untuk menyelesaikan urusan di Indonesia. Banyak penundaan di mana-mana. Tapi ada dua aspek mendasar dari masalah ini yang seringkali tidak dipertimbangkan secara hati-hati oleh para pengamat pembangunan internasional: korupsi dan 'politik uang'.
Korupsi telah mendapat perhatian yang sangat besar di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa nama besar terkenal telah diperiksa oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) terkait kasus korupsi. Ikan besar terakhir yang tertangkap adalah mantan deputi senior bank sentral (Bank Indonesia), Miranda Goeltom. Dalam kasus yang berkembang menjadi kasus tingkat tinggi ini, Miranda didakwa korupsi sehubungan dengan pembayaran lebih dari $ 2 juta kepada anggota parlemen untuk pembelian suara selama pemilihannya sebagai Deputi Gubernur Bank Indonesia pada tahun 2004. Dia akan menjalani sidang kembali pekan depan.
Tapi ada beberapa kerugian dalam kampanye intens melawan korupsi di Indonesia.
Salah satunya adalah bahwa banyak pegawai negeri yang merasa takut terhadap kampanye anti korupsi yang kadang-kadang suka mencari-cari kesalahan. Para pejabat senior takut dituduh korupsi atau dituduh melakukan pelanggaran ringan bahkan sepele, sehingga mereka menjadi sangat takut mengambil resiko. Banyak perizinan pemerintah - termasuk izin usaha yang masuk akal - akhirnya tertunda karena pejabat terkait enggan menandatangani apa pun yang mengandung resiko.
Masalah kedua adalah cara bahwa pertumbuhan demokrasi di Indonesia telah menyebabkan penyebaran 'politik uang'. Seperti diungkapkan Stephen Grenville, kampanye pemilihan gubernur Jakarta telah disertai dengan berbagai macam kegiatan kampanye yang mahal. Orang harus membayar demi mendapatkan semua kesenangan ini. Penggalangan dana sekarang menjadi tantangan besar bagi setiap calon politisi di Indonesia.
Tidak jelas apa yang harus dilakukan untuk menangani masalah besar politik uang di Indonesia. Bahkan, para pengamat pembangunan internasional tidak punya jawaban yang memadai atas pertanyaan penting tentang bagaimana cara mendanai demokrasi di negara berkembang.
Kegiatan industri politik yang besar membutuhkan uang. Di Indonesia sekarang terdapat lebih dari 20.000 politisi di parlemen pusat, provinsi dan kabupaten. Semuanya perlu menjalankan kantor, menjaga agar pendukung tetap senang, dan perlu sering melakukan kampanye. Partai-partai politik besar sering mengadakan pertemuan akbar di hotel-hotel besar di Jakarta untuk menampung hingga 1000 utusan yang diterbangkan dari seluruh wilayah Indonesia. Para utusan ini menghadiri makan malam selama beberapa hari dan menghabiskan biaya yang sangat besar.
Saat ini sudah ada kesepakatan luas di Indonesia bahwa tingginya biaya politik adalah masalah besar. Mantan wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi baru-baru ini mengatakan bahwa 'komersialisasi wewenang demi memenangkan pemilu serta membangun dan mempertahankan kekuasaan dan kekayaan' telah menyebabkan kerusakan besar. Dia menunjukkan bahwa, antara lain, masalah ini memberikan kontribusi bagi 'merajalelanya penerbitan konsesi pertambangan karena politisi daerah merasakan mudahnya mengumpulkan uang yang mereka butuhkan dengan cara menjual konsesi pertambangan dan perkebunan.
Semua setuju bahwa demokrasi terus berkembang di Indonesia atau bahwa kampanye anti korupsi adalah bagian penting dari pemerintahan yang baik. Tapi itu akan menjadi langkah maju yang berguna dalam wacana pembangunan internasional jika sudah diakui secara luas bahwa kapasitas demokrasi dan anti-korupsi ini membawa tantangan baru.
Salah satu tantangan utama adalah bahwa pengelolaan pemerintahan, dalam beberapa hal penting, menjadi lebih sulit. Terobosan gaya lama tidak bisa diterima lagi dalam menjalankan sebuah negara, meski cara tersebut cepat. Ketika ide-ide modern tentang tata pemerintahan yang baik mnimbulkan birokrasi berlapis yang terus berkembang, sistem menjadi buntu. Kaum puritan tidak akan merasa senang tetapi banyak yang bisa didiskusikan untuk mendukung ide praktis Merilee Grindle dalam memusatkan perhatian pada 'pemerintahan yang cukup baik'.
diterjemahkan oleh Tata Danamihardja dari tulisan Peter McCawley (23 Juli 2012), Peneliti Tamu pada Proyek Indonesia, ANU, dan mantan Dekan Institut Bank Pembangunan Asia, Tokyo.
Sumber: The Interpreter