Rakyat Sebagai Komoditas

Rakyat, sebuah kata yang sederhana. Sama sederhananya dengan makna yang ada dibaliknya. Yang melintas di otak saya ketika mendengar kata ini adalah sosok sederhana tanpa baju, kurus karena kurang makan, kurang terpelajar, gampang ditipu, atau meskipun tak bisa ditipu tapi tetap saja tidak punya kekuatan untuk melawan penipu.
gambar: http://garisbebas.com/

Padahal pada kenyataannya tentu saja tidak selalu seperti itu. Saya yang alhamdulillah masih bisa pake baju, masih bisa makan minimal sekali sehari, juga rakyat. Bahkan pejabat, pengusaha, anggota parlemen, politisi, para pengamat yang pintar berteori, yang semuanya pada kaya, juga disebut rakyat. Sayangnya, bagian terbesar dari kelompok yang disebut rakyat ini termasuk yang kurang beruntung. Hanya sebagian kecil saja - yang saya sebut belakangan kecuali saya - rakyat yang bernasib baik.

Meski demikian, rakyat memiliki magnet luar biasa yang menarik banyak orang untuk membicarakannya. Bahkan banyak sekali orang yang rela membuang-buang semburan ludahnya untuk sekedar mengucapkan kata ini. Dunia politik menjadi nomor satu dalam hal penggunaan kata rakyat. Apalagi pada saat musim kampanye pemilihan umum. Sayang belum ada survey yang meneliti soal berapa jumlah pengucapan kata rakyat per detik pada saat-saat semacam itu.

Barangkali justru karena serba kekurangannya itu, rakyat malah menjadi komoditas politik bernilai tinggi yang layak dijual. Janji-janji yang mengatasnamakan semangat memperjuangkan kepentingan perbaikan nasib rakyat selalu menjadi jurus sakti yang mampu memikat perhatian publik. Soal realisasinya yang selalu nol besar urusan belakangan. Toh hingga saat ini tak pernah ada pengadilan untuk mereka yang gagal memenuhi janji-janjinya kepada sang pemilik nama sakti ini.

Mungkin tak pernah terbayangkan oleh nenek moyang kita dulu kalau kata rakyat bisa menjadi begitu populer seperti sekarang. Atau, mungkin mereka tak akan pernah menciptakan kata rakyat kalau saja mereka tahu bahwa kata tersebut digunakan untuk menipu sekian ratus juta pemilik kedaulatan tertinggi (meski cuma di atas kertas) di republik ini.

Tapi biar bagaimana pun, sebagai mahluk ber-Tuhan, kita patut bersyukur. Minimal, lima tahun sekali selalu ada pembagian kaos gratis untuk rakyat. Kadang-kadang ada mie instan untuk rakyat, bantuan sosial untuk rakyat, panggung hiburan untuk rakyat, uang transport untuk rakyat dll. Dan untuk beberapa saat mereka dimanjakan dengan perlakuan manis. Setelah itu? Kembali menjadi budak belian modern sambil harap-harap cemas menunggu siklus lima tahunan, saat para penipu berpura-pura menjadi jongos rakyat.

Hidup rakyat!