BOSAN

Bosan, jenuh, atau kata lain yang sepadan dengan itu, kadang-kadang terucap juga dari mulut kita ketika sampai pada suatu kondisi di mana kita merasa tidak ada lagi hal menarik yang bisa kita lakukan. Kondisi stagnan dari itu ke itu membuat kita terpancing untuk melakukan sesuatu di luar kebiasaan. Cari suasana lain, mungkin begitu istilahnya.

Rasa bosan atau jenuh itu tentu tidak selalu sama. Ada yang tingkat tinggi, sedang dan rendah. Itu kalau disederhanakan. Tapi di tingkat mana pun kita berada, pasti ada sesuatu di luar kebiasaan yang ingin kita lakukan. Dan rasa bosan itu tidak mengenal strata sosial. Ia bisa hinggap pada siapa saja, dari kalangan mana pun.

Maka tak usah heran jika orang-orang yang kelebihan uang rela membayar mahal untuk berkotor-kotor di sawah dan lumpur demi mengusir kejenuhan. Memandikan kerbau yang pasti membosankan bagi pertani miskin, berubah menjadi sesuatu yang mahal dan menyenangkan bagi orang kaya yang biasa hidup di tempat bersih dan nyaman.

Makanan kampung yang biasa dikonsumsi petani sederhana semacam nasi tutug oncom, bisa berubah menjadi makanan yang lezat dan eksklusif di mata orang kaya yang tidak biasa menyantapnya. Padahal buat orang miskin, menu itu hanyalah siasat untuk menekan pengeluaran lauk seminimal mungkin. Tapi dengan kemasan dan sentuhan penyajian ala hotel, harganya bisa naik berlipat-lipat. Sebab pada hakikatnya yang dijual bukan makanannya, melainkan suasana dan kemasannya.


Bagaimana dengan orang miskin yang bosan dengan kemiskinannya? Ini memang tidak mudah. Mencari suasana lain menjadi masalah tersendiri bagi mereka. Meski bosan dengan menu harian kaum papa, mereka tak bisa dengan mudah berganti suasana dengan makan enak di restoran mahal misalnya. Mau beli pake apa? Atau jika ingin merasakan tidur nyaman di hotel, mereka hampir tak mungkin melakukannya karena tidak ada biaya.

Lalu? Ada jalan pintas yang bisa dilakukan. Mari nonton sinetron Indonesia yang sering menghadirkan dunia orang kaya tanpa alasan yang jelas. Di situ kita bisa tahu bagaimana cara orang kaya bersekolah tanpa harus belajar, misalnya. Yang harus dilakukan cuma pacaran, berantem, nge-mall, nonton, dan pekerjaan-pekerjaan enak lainnya. Uangnya toh tinggal minta kepada orang tuanya yang tak pernah jelas pekerjaannya apa. Pokoknya konon punya perusahaan besar yang menghasilkan uang banyak.

Selesai nonton, tentu tak ada yang bisa diperoleh kecuali mimpi bisa hidup enak dengan mudah seperti di sinetron. Maka ketika kembali ke kehidupan nyata, mereka pun mabuk ekstase kenikmatan bermimpi yang dicekokkan kotak bodoh itu. Proses itu terus berulang, menjadi sebuah siklus tak berujung. Bosan, menikmati mimpi, bosan lagi, mimpi lagi....

Kesimpulannya? Bosannya orang miskin dan orang kaya itu, tetap saja beda.