Fragmen Larut Malam


terlelap sudah manusia pemilik dendam sampai ke ubun-ubun. tak ada yang pernah padam dalam dadanya, sebab tidur hanyalah mengistirahatkan amarah dan kesumat untuk sementara. energi yang pulih akan kembali bergolak menuntut pelampiasan seperti yang selalu ada dalam mimpi-mimpi tentang ken arok yang mengkhianati tunggul ametung. atau tentang rahwana yang angkara murkanya tak mempan digencet gunung sondara-sondari, meski tubuhnya hancur berkeping-keping. segala sistem yang bekerja di tubuhnya hanya memiliki satu tujuan: menghancurkan segala sesuatu yang telah membuatnya menderita.

raga yang kurus tak terawat hanyalah semacam media tempat segala kegundahan menunggu saat yang tepat untuk berontak. memberontak terhadap kemapanan yang menjungkirbalikkan akal sehat manusia beradab. memberontak terhadap sinisme kolektif yang mencampakannya pada predikat yang telah menggoncangkan egonya. memberontak pada kezaliman puitis dan basa-basi yang diam-diam memuntahkan kutukan yang mengerangkeng garis takdirnya. memberontak pada keindahan palsu yang telah memperkosa kepekaannya menikmati senja yang tulus.

entah siapa yang telah menjebloskannya ke dalam kesunyian yang tak lagi menjanjikan kedamaian. segala hak yang dimilikinya untuk menikmati hari-hari penuh pelangi telah lama mengering dan mati. yang tersisa hanyalah persekutuan antara kegelapan dan hasrat untuk memuntahkan segala kemarahan yang tak kuasa lagi disembunyikannya dalam sopan satun hipokrit yang selama ini selalu dipertahankannya sekuat tenaga. ditelantarkan waktu, semua pagar itu telah berkarat dan rapuh. senyuman aneh terukir pada wajah lelap yang gelisah. senyuman yang tak seorang pun mengetahui maknanya.

malam kian larut, gelisah menunggu matahari.

13/02/2011

photo: courtesy of MDE-ART