Kehilangan Pilihan

foto: poskota.co.id
Hingar bingar perayaan tahun baru Masehi baru saja usai. Segala tetek bengek keriaan larut dalam kelelahan yang terbagi rata antara yang merayakan dan tidak merayakan. Kelelahan fisik bagi yang merayakan dan kelelahan mental bagi yang tidak merayakan. Semua, langsung atau tidak, dipaksa untuk terlibat dalam tradisi lokal yang mengglobal akibat peran media dan industri.

Sepuluh tahun yang lalu, saya masih bisa membedakan suasana kampung dan kota besar menjelang tanggal 1 Januari. Di kota-kota besar orang-orang terkonsentrasi di tempat-tempat tertentu dengan segala keriuhrendahannya untuk merayakan malam pergantian tahun. Kebisingan suara terompet dan deru kendaraan, gemerlap kembang api, panggung-panggung hiburan, menjadi rutinitas selebrasi tahunan. Sementara di kampung-kampung, orang masih bisa bernafas lega menikmati kedamaian, jauh dari hiruk pikuk dan kebisingan.

Namun perbedaan itu tak lagi nampak saat ini. Kampung tak lagi steril dari suara-suara terompet dan deru kendaraan di malam tahun baru. Difahami atau tidak, perayaan tahun baru Masehi menjadi mainan baru atau bahkan berhala baru yang perlahan tapi pasti menginvasi hingga ke pelosok perkampungan. Kita tak lagi punya pilihan untuk sekedar menikmati kesunyian sambil melakukan kontemplasi alakadarnya sekali pun.

Barangkali, prosesi tahunan ini diam-diam sudah menjadi semacam katarsis terhadap beban hidup masyarakat kebanyakan. Larut dalam euforia hingar bingar perayaan tahun baru Masehi mungkin menjadi semacam penghilang rasa sakit untuk beberapa saat. Lupakan sejenak kemiskinan, ketidakadilan, korupsi yang merajalela, kebobrokan moral, dan lain-lain. Selebrasi tahun baru menjadi semacam onani kolektif yang menjanjikan kegembiraan semu, meski sesaat. Setelah itu, bersiap-siap untuk kembali ke dunia nyata yang keras dan getir.

Yang jelas, saya, dan mungkin juga Anda, telah kehilangan pilihan untuk menikmati malam pergantian tahun dengan cara kita. Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un.