Pelawak Itu Harus Pintar

Ya, jadi pelawak itu harus pintar. Tentu saja selain lucu yang menjadi syarat utama. Pintar di sini bukan selalu berarti harus selalu jebolan sekolahan. Bukan. Pintar di sini lebih ke soal kecerdasan, dan kemauan untuk belajar.

Sudah bukan jamannya lagi pelawak hanya mengandalkan lawakan slapstick yang vulgar. Ingat, penonton semakin cerdas. Kalau dulu lawakan yang laku itu adalah sembur-semburan ludah, toyor-toyoran kepala, sekarang selera masyarakat mulai bergeser. Meminjam istilah Syahrini, harus ada 'sesuatu' dalam materi lawakan.

Artinya, seperti yang harus dilakukan di bidang apa pun, pelawak harus terus belajar. Ini akan memperkaya materi lawakan, sekaligus bisa menjadi pagar agar lawakannya tidak kebablasan. Masalahnya, sesuatu yang kita anggap lucu, bisa saja menyinggung perasaan orang lain, terutama untuk isu-isu sensitif.

Kasus yang menimpa Olga mungkin bisa dijadikan pelajaran. Ketika lawakan menyentuh isu sensitif, di sinilah diperlukan rem agar syahwat untuk mendapatkan tepuk tangan penonton dikendalikan. Sengaja atau tidak, disadari atau tidak, potensi ketersinggungan pihak lain menjadi sangat besar ketikan persoalannya menyentuh isu sensitif seperti kasus perkosaan, cacat fisik dan lain-lain.

Meski ada yang menuduh bahwa masyarakat kita over-sensitive, bagi saya kendali utama tetap berada di tangan sang komedian. Harus ada kerendahan hati untuk tidak sekedar mendapatkan tepuk tangan dengan menyakiti perasaan orang lain. Untuk kasus Olga misalnya, cukup dengan membayangkan jika Anda berada pada posisi objek lawakan. Akan seperti apa reaksi Anda?

Tentu bukan cuma Olga yang harus belajar lebih keras. Semua komedian, dan bahkan kita semua yang bukan siapa-siapa, selalu dituntut untuk terus belajar, agar kita semakin arif dalam bertindak dan berbicara. Ini sangat diperlukan demi meningkatkan toleransi kita ketika bersinggungan dengan orang lain, dan meminimalkan friksi bahkan dalam lingkup pergaulan sosial yang paling kecil sekali pun.