Sebuah perjalanan panjang, 67 tahun sejak kita secara de jure dinyatakan terbebas dari penjajahan (bangsa lain). Soal apakah saat ini kita masih dijajah oleh bangsa lain dan bangsa sendiri secara terselubung, itu soal lain.
Esensi merayakan hari kemerdekaan adalah bersyukur bahwa sebagai sebuah bangsa kita (secara teori) bebas menentukan nasib sendiri, dan tidak tergantung kepada bangsa lain. Banyak yang berharap bahwa perayaan hari kemerdekaan tahun ini bisa lebih bermakna sebab berlangsung pada bulan suci Ramadhan. Tak berlebihan jika ada harapan agar tahun ini bisa menjadi titik awal perubahan perjalanan bangsa menuju ke arah yang jauh lebih baik.
Sayangnya, belum apa-apa harapan itu sudah ternodai oleh kabar yang kurang pantas. Di tengah keluh kesah rakyat miskin yang gerah menghadapi Lebaran, istana terkesan bermewah-mewahan dengan menganggarkan 7,8 milyar rupiah untuk perayaan 17 Agustus di istana saja (data dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran/FITRA).
Jika kita amati, bangsa kita memang termasuk bangsa seremonial. Selalu ada alasan untuk merayakan sesuatu. Bahkan jika memungkinkan, barangkali piring jatuh pun perlu dirayakan. Apalagi ini sebuah hari bersejarah dan penting. Hanya saja ketika hal itu dilakukan secara berlebihan rasanya kok jadi aneh, dan barangkali juga menyakitkan.
Bayangkan ketika di satu sisi banyak orang yang untuk mendapatkan uang 10 atau 20 ribu saja harus memeras keringat seharian, ini malah menghabiskan 7,8 milyar dalam waktu sehari. Pantas? Sangat tidak pantas, bahkan ketika itu dilakukan di level nasional. Tidak ada urgensi untuk merayakan hari kemerdekaan secara mewah, apalagi di tengah kondisi bangsa yang memprihatinkan. Bagi saya sendiri ini sudah lebih dari menyakitkan. Ini sudah menjijikkan!
Apapun, selamat ulang tahun Indonesia, selamat ulang tahun bangsa seremonial.
PS: Ini ada kado khusus untukmu: Renungan Merdeka.