Robohnya Masjid Kami

Ini Ramadhan. Ini bulan suci. Bulan di mana orang terkesan lebih religius. Bulan di mana orang-orang memiliki ghirah beribadah yang lebih tinggi dibanding bulan lainnya. Bulan di mana masjid - pada taraf tertentu - mampu bersaing dalam soal keramaian dengan mall dan supermarket.

Ya, masjid yang biasanya lengang menjadi lebih ramai, minimal saat tarawih. Paling tidak, di bulan inilah syiar Islam lebih nampak ke permukaan dibanding bulan-bulan lainnya. Tapi bukankah seharusnya kondisi ini terjadi dibulan manapun? Idealnya memang begitu, tapi daripada tidak sama sekali, ini masih jauh lebih baik.

Begitulah ritual tahunan yang selalu terjadi. Siklus musiman ini menjadi semacam tradisi yang menjadi ciri Ramadhan, bulan yang kerap dibandingkan dengan kualitas seribu bulan.

Makanya setiap masjid biasanya sibuk bebenah menjelang Ramadhan, khusus untuk memfasilitasi ghirah umat yang meningkat di bulan suci ini. Semua dilakukan demi kenyamanan mereka yang beribadah di sana.
***

Masjid di sebelah rumah termasuk dalam kateori masjid besar. Pusat aktivitas keagamaan level kota kecamatan. Seperti masjid-masjid pada umumnya, di sini aktivitas keagamaan selalu terlihat lebih ramai di bulan Ramadhan. Sayangnya Ramadhan tahun ini benar-benar lain dari biasanya. Masjid itu, rata dengan tanah.

ilustrasi: m.detik.com
Kena gusurkah? Tentu tidak. Siapa pula yang punya nyali lebih untuk menggusur masjid? Masjid itu memang sengaja dirobohkan untuk dibangun kembali. Paling tidak begitulah konon yang diungkapkan oleh panitia pembangunan mesjidnya. Lalu kenapa mesti di bulan Ramadhan? Kenapa harus dilakukan ketika ghirah umat sedang begitu besar untuk melakukan aktivitas di sana? Kenapa tidak di bulan lainnya, sebelum atau sesudah Ramadhan?

Tak pernah ada jawaban pasti soal itu. Hanya Tuhan dan mereka yang terlibat dalam proses merobohkan masjid itu saja yang tahu pasti. Hanya saja ada selentingan yang beredar soal kenapa harus dirobohkan persis di awal Ramadhan. Konon itu dilakukan bukan tanpa alasan.

Maksudnya? Begini, menjelang Lebaran sudah dipastikan banyak perantau yang pulang kampung. Dan itu berarti banyak uang hasil merantau dibelanjakan dikampung halaman, termasuk belanja yang bermotif religius. Orang biasanya lebih dermawan dalam berbagi rezeki. Apalagi untuk hal-hal yang sifatnya keagamaan.

Lalu korelasinya dengan merobohkan masjid? Logikanya sederhana. Melihat masjid yang rata dengan tanah, masa sih orang tega tidak mau menyumbang agar masjid bisa segera berdiri kembali? Dengan kata lain, mungkin, pihak panitia pembangunan (perobohan) masjid berharap agar banyak dana terkumpul dengan menjual 'kondisi memprihatinkan' yang terpapar saat lebaran.
***

Saya tidak tahu apakah benar alasannya seperti itu atau bukan. Yang jelas, sekuat apapun saya mencoba untuk mencari motif lain di balik proses perobohan masjid, cuma alasan itulah yang masuk akal.

Jadi? Saya mengelus dada. Kalau benar demikian, betapa naifnya alasan tadi. Lebih jauh lagi, saya jadi berpikir tentang logika pengemis. Ciptakan kondisi miskin yang paling dramatis, agar semakin besar rasa iba orang yang melihatnya. Dan rasa iba itu berbanding lurus dengan besarnya uang yang diberikan untuk si pengemis. Semakin iba seseorang, semakin besar uang yang diberikan.

Astaghfirullah, benarkah demikian? Padahal itu sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam yang mengutamakan kemandirian. Islam mewanti-wanti agar umatnya tidak bermental pengemis! Kalau mesjid saja dibangun dengan cara yang tidak islami, bagaimana kami bisa mendapatkan kedamaian di tempat yang seharusnya suci? Bila rumah Allah dicederai dan dikhianati, di tempat mana lagi kami harus berlindung?

Hari ini telah lahir sebuah ratapan kesedihan: robohnya masjid kami. Inna lillahi wainna ilaihi roji'un.

Inpirasi judul: Robohnya Surau Kami- A.A. Navis.