Teknologi Masuk Kamar

Hah, masuk kamar? Bukaaan... bukan kamar dalam artian itu. Maksudnya, teknologi saat ini sudah sudah masuk ke ruang-ruang privat, ruang-ruang pribadi. Dan salah satu ruang privat itu adalah kamar. Kamar adalah ruang pribadi yang tak boleh dimasuki sembarang orang kecuali pemiliknya.

Benar, teknologi sudah masuk - bahkan menjajah ruang-ruang privat. Dimulai dengan teknologi radio, televisi, dan sekarang internet. Dulu, jaman radio masih termasuk barang mewah, mendengarkan radio otomatis termasuk salah satu bentuk kemewahan. Konon mendengarkan siaran wayang golek di malam Minggu merupakan ritual mewah yang dinikmati bersama di ruang publik. Saat radio baru dimiliki oleh segelintir orang kaya, maka acara mendengarkan siaran wayang golek menjadi ritual kolektif yang dinikmati bersama di ruang publik. Sambil ngopi, merokok, sekaligus bercengkrama di antara sesama kaum duafa yang numpang mendengarkan cerita wayang golek di rumah orang kaya yang 'dermawan', 'berharap dianggap dermawan', atau memang seorang yang benar-benar dermawan.

Ketika harga radio semakin terjangkau, maka simbol kemewahan itupun bergeser. Penandanya bukan lagi radio, melainkan berubah menjadi televisi alias tipi. Televisi kembali dinikmati secara kolektif di ruang publik. Acara nonton tivi juga menjadi wahana sosialisasi warga. Seiring berjalannya waktu, ketika harga televisi semakin 'terjangkau', fungsinya pun ikut bergeser. Televisi tak lagi hadir di ruang-ruang publik melainkan menyempit ke dalam ruang yang lebih pribadi: di dalam rumah. Saat ini boleh dikatakan jarang keluarga yang tidak memiliki televisi. Bahkan satu anggota keluarga satu televisi bukan lagi hal yang aneh.


Begitu cepatnya perubahan terjadi. Teknologi saat ini kian merangsek ke ruang-ruang yang sangat pribadi. Ketika internet tak lagi menjadi kemewahan, perubahan itu melesat laksana kilat. Beragam fitur teknologi terbaru susul menyusul dengan cepatnya. Apa yang bulan lalu dianggap teknologi tercanggih, hari ini sudah dianggap ketinggalan jaman. Telepon genggam yang dulu hanya berfungsi untuk menelepon dan mengirim teks (SMS), saat ini sudah berkembang menjadi semacam komputer pintar yang bisa digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk mengakses aneka informasi di internet. Smartphone alias telepon pintar, begitulah orang menyebutnya. Dan pilihan yang tersedia begitu melimpah. Semua orang, mulai dari yang berkantong tebal hingga yang berkantong pas-pasan punya kesempatan yang sama, karena harganya juga bervariasi, disesuaikan dengan kualitas produknya.

Sungguh, di satu sisi ini adalah sebuah anugerah. Semua orang memiliki kesempatan yang nyaris sama untuk menikmati teknologi, khususnya yang berkaitan dengan internet. Sebagai sebuah sumber informasi yang luar biasa berlimpah, internet bisa membuat kualitas hidup seseorang meningkat pesat, terutama yang berkaitan dengan pengetahuan. Informasi apa saja bisa diperoleh di internet. Dan modal untuk mengaksesnya tak perlu mahal. Sebuah ponssel cerdas kelas low-end sudah memadai untuk kebutuhan ini.

Sayangnya, perkembangan ini tidak hanya mengakibatkan hal-hal positif saja, melainkan juga hal-hal negatif. Informasi yang tidak terkontrol bisa menjadi bumerang jika tidak disertai pengetahuan yang memadai untuk menyaringnya. Informasi yang diserap mentah-mentah tidak dijamin akan berefek positif, karena bisa juga malah menyesatkan. Sementara dari sisi sosial, masuknya teknologi ke ruang privat ini juga secara perlahan menyeret penggunanya menjadi pribadi-pribadi yang seolah-olah terasing dari lingkungan sekitarnya. Bukan sesuatu yang aneh ketika kita melihat orang berkumpul tetapi masing-masing sibuk dengan dirinya sendiri. Ada yang browsing internet, ada yang sibuk chatting dengan BBM, ada yang (mungkin masih) sibuk mengetik SMS, dll.

Tak salah ketika ada orang yang mengatakan bahwa teknologi semacam ini telah "mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat". Orang yang ada di samping kita dicuekin sementara kita sibuk ngobrol via BBM atau SMS dengan orang yang entah berada di mana. Kondisi semacam ini secara perlahan akan menggiring kita menjadi manusia-manusia yang tercerabut dari hangatnya interaksi sosial face to face yang sesungguhnya. Tanpa sadar kita telah terseret menjadi budak teknologi yang setia. Sehari saja tidak mengakses internet, membuat kita merasa ada sesuatu yang hilang. Teknologi, dalam hal ini internet, telah menjadi candu.

Lalu, haruskah kita meninggalkan semua ini dan kembali hidup di jaman 'Tarzan'? Tentu tidak demikian, sebab teknologi itu seperti pisau yang akan sangat bermanfaat jika digunakan secara bijak, tetapi sebaliknya akan merusak jika digunakan tanpa aturan. Segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Gunakan teknologi dalam batas-batas yang wajar dan itu insya Allah akan bermanfaat. Tapi jangan lupakan orang-orang di sekitar kita, sebab merekalah yang sesungguhnya menciptakan eksistensi kita secara sosial.

Ingat, teknologi tak akan pernah bisa menggantikan keluarga, sahabat dan teman-teman secara fisik. Maka jangan sia-siakan mereka, paling tidak ketika kita berada diantara mereka. Dan yang terpenting, jangan biarkan teknologi menjajah kita sebab teknologi adalah 'pisau' kita.