The Long And Winding Road memang sungguh-sungguh sebuah kondisi yang harus saya tempuh. Lebih dari 200 km perjalanan pulang pergi harus saya nikmati apa adanya, menempuh kondisi jalan yang berkelok-kelok dan naik turun dalam artian yang sesungguhnya. Benar-benar sebuah perjalanan yang melelahkan.
Tapi itu belum semuanya, karena masih harus ditambah dengan kondisi di dalam kendaraan umum yang jauh dari nyaman. Panas, berdesak-desakan, sangat tidak tepat waktu dan tidak bisa diprediksi, serta ancaman keselamatan kalau kebetulan sang sopir bertindak ugal-ugalan. Ini yang saya maksud jalan panjang dan berliku dalam arti kiasan.
Dengan semua ketidaknyamanan itu sesungguhnya biaya yang harus kita keluarkan menjadi amat sangat mahal, sebab penderitaan serta ancaman yang kita alami selama dalam perjalanan tidak bisa dinilai dengan uang. Kalau sudah tahu seperti itu, kenapa tidak pilih cara yang lain?
Secara teori memang sangat logis mengajukan pertanyaan seperti itu. Kita bisa menggunakan kendaraan pribadi atau naik kendaraan milik biro perjalanan. Sayangnya tak semua orang beruntung memiliki alternatif yang lebih menyenangkan. Saya misalnya, tidak memiliki kendaraan pribadi. Jadi alternatif ini otomatis harus dicoret. Travel? Tidak ada trayek yang melewati jalur yang harus saya tempuh. Maka alternatif ini pun otomatis dicoret.
Dengan demikian praktis saya tidak mempunyai pilihan lain kecuali bersabar menjalani kondisi yang ada. Kalau pun bisa disebut pilihan, berdoa barangkali menjadi satu-satunya alternatif dalam mengantisipasi segala kemungkinan buruk yang mungkin terjadi akibat melakukan perjalanan menggunakan kendaraan umum di Indonesia.
Pemerintah yang seharusnya bertanggungjawab atas segala ketidaknyamanan ini terbukti mandul dan tidak mampu mengatasi persoalan yang sudah berlangsung selama puluhan tahun tersebut. Padahal jika ada niat baik, saya 100 persen yakin kondisi ini bisa diperbaiki. Perlu regulasi yang tegas, dan tentunya juga eksekusi yang tegas di lapangan untuk menciptakan kondisi angkutan umum massal (mass rapid transport) yang nyaman.
Lalu kenapa pemerintah tidak mau melakukannya? Saya tidak tahu karena saya bukan orang pemerintah ataupun orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan berbagai kebijakan (ketidakbijakan?) pemerintah. Tapi kalau disuruh menebak, menurut saya kemungkinan besar hal itu terjadi karena para petinggi tidak pernah merasakan apa yang saya dan orang-orang senasib rasakan. Mereka tidak pernah merasakan betapa menderitanya menjadi pengguna kendaraan umum di Indonesia.
Yang mereka tahu hanya kenyamanan berada dalam kendaraan mewah ber-AC, mendapatkan fasilitas kelas satu, dan berusaha mempertahankan kondisi nyaman itu selama mungkin. Soal rakyat harus menderita? Ah, itu sih derita loe.
Keciaaan deh rakyat....